tempo.co – Bagi masyarakat Sumba di Nusa Tenggara Timur, tampaknya lampu minyak tanah akan segera menjadi bagian dari masa lalu. Sebagian Sumba sekarang digerakkan oleh sinar matahari, arus air, dan angin, yang semuanya berlimpah di pulau itu. Masyarakat Sumba — dengan bantuan pemerintah dan organisasi non-profit Hivos — siap mengubah pulau itu menjadi ikon energi terbarukan di Indonesia. Rencananya, Sumba akan mendapatkan seluruh pasokan listrik dari energi terbarukan pada tahun 2025.
Sejumlah program telah diluncurkan sejak deklarasi Pulau Ikonik Sumba delapan tahun lalu, program seperti Proyek Terang yang bertujuan untuk mendistribusikan energi terbarukan ke desa-desa. Masyarakat Sumba telah bergabung dengan inisiatif ini sebagai mitra, memungkinkan distribusi listrik bersih ke desa, rumah dan sekolah di pulau itu. Program ini berhasil meningkatkan rasio elektrifikasi Sumba menjadi sekitar 43 persen pada tahun lalu, di mana 12,7 persen di antaranya berasal dari sumber terbarukan.
Agar Ada Cahaya Di Sana
Proyek Terang bekerja dengan desa-desa di Sumba untuk menyediakan akses energi terbarukan.
Pada akhir Januari, setelah melakukan sholat maghrib, kepala desa Wee Wula, Julius Magonaga melihat rumahnya menjadi gelap. Rupanya, generator listrik Julius telah berhenti bekerja. Terasnya yang terang benderang, tempat para tamu duduk dan mengobrol, berubah hitam pekat dalam sekejap. Beberapa tamu segera mengeluarkan lentera portabel mereka. Segera, teras dan ruang duduk kembali menyala dan para tamu melanjutkan gurauan mereka saat makan malam.
Untungnya, beberapa tamu Julius malam itu membawa lentera portabel bertenaga surya bersama mereka. Lampu-lampu ini, yang dikenal sebagai fotovoltaik surya, atau lentera PV surya, kini digunakan sejumlah penduduk desa pada malam hari.
Lentera bertenaga surya didistribusikan oleh Proyek Terang, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk menyediakan energi terbarukan ke desa-desa di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Proyek yang diluncurkan pada bulan Desember 2015 dan berakhir pada bulan Maret tahun ini, merupakan gagasan dari beberapa lembaga, termasuk Hivos, Winrock International, Yayasan Rumah Energi, Village Infrastructure Angel, dan Millennium Challenge Account-Indonesia.
Meskipun program ini telah berjalan selama beberapa tahun, masih banyak penduduk desa yang belum menikmati penerangan dan listrik. “Kurang dari 30 persen penduduk desa memiliki akses ke penerangan (listrik),” kata Julius, menjelaskan bahwa Wee Wula memiliki populasi sekitar 1.000 orang. Hanya satu hingga dua lentera per rumah tangga yang diberikan kepada 30 persen diantaranya. Sebagian besar penduduk di Wee Wula menggunakan lampu minyak tanah di malam hari. Sementara itu, sebagian besar jalan desa tidak diterangi cahaya.
Beberapa tamu Julius malam itu memiliki lentera bertenaga surya dari Proyek Terang. Di antara mereka adalah Maria Rami Ate, Dominggus Bili, dan Samuel Belibi. Meskipun lampu ini tidak seterang lampu bertenaga generator, pemiliknya menjadi lebih produktif selama malam hari.
Toko dan bengkel Dominggus Bili, misalnya, sekarang buka sepanjang malam. “Semakin banyak pelanggan mampir karena banyak dari mereka hanya bisa datang di malam hari,” kata pria berusia 32 tahun itu.
Maria Rami Ate, 59, sekarang bisa datang ke pertemuan dengan para perempuan di desa atau ke pertemuan gereja di malam hari. “(Lenteranya) sangat bermanfaat,” katanya.
Dominggus dan Maria hanya harus membayar Rp 50.000 untuk bergabung dalam Proyek Terang. Tapi lentera bertenaga surya mereka harus diisi di stasiun pengisian mitra. Pengisian biaya dikenakan biaya Rp 2.000, dan lentera dapat digunakan selama dua hari hingga satu minggu, tergantung pada seberapa sering mereka digunakan. “Saya bersyukur bahwa (lentera) tersedia sekarang ketika kita belum dialiri listrik negara,” kata Samuel Belibi.
Penduduk Wee Wula telah menunggu lama untuk listrik tiba. Seperti di desa-desa lain, tiang listrik telah didirikan di depan rumah Julius oleh PLN. Tetapi, tidak ada kabel yang dipasang. Sebagian kecil penduduk kini dapat menikmati pencahayaan dari catu daya berbasis tenaga surya milik PLN atau menikmatinya pada satu waktu. “Namun ada tempat-tempat di mana listriknya tidak berfungsi dengan baik,” kata Julius.
Proyek listrik PLN belum berhasil karena penduduk desa keberatan dengan biaya, kata Julius. Setiap rumah tangga diharuskan membayar Rp 250.000 untuk pemasangan serta berlangganan bulanan sebesar Rp 36.000. “Mereka tidak punya uang.”
(Sumber: https://en.tempo.co/read/news/2018/05/02/313918090/Solar-Power-on-the-Sandalwood-Island)