Semangat Warga Petani Pokcay
Lapangan kota Waingapu yang tadinya terbengkalai kini dipenuhi bawang, pokcay, kol, cimsi, pitsai, tomat, kangkung, dan sawi. Bahkan ada warga yang mulai menanam padi di lahannya. Semua bermula dari pelatihan pembuatan biogas dari kotoran ternak babi yang digelar Sumba Iconic Island, tahun 2011. Jiwa entrepreneur, kerja swadaya, dan jalur komunikasi jadi kunci keberhasilan para petani perempuan.
Setiap akhir pekan Heinrich Dengi menggayuh sepedanya melewati pematang sawah sembari menghirup udara pagi. Kesempatan itu tak pernah ia sia-siakan buat berinteraksi dengan masyarakat di sekitar Kabupaten Sumba Timur. Sehari-hari, pria enerjetik itu memang memandu acara “Ayo Bertani Organik”. Berbagai persoalan pertanian dan keluhan warga pun terpecahkan berkat informasi penting yang disiarkan Radio MAX FM Waingapu yang ia pimpin.
Tak cuma di situ, Heinrich aktif memuat pos tulisan dan foto melalui akun Facebook-nya –mengingatkan pentingnya penggunaan pupuk organik dan bibit sayur yang berkualitas hingga cara mendapatkan panen yang berlimpah. “Kangkung organik yang baru dipanen terlihat hijau menggoda, akar putih bersih tanda sehat,“ tulis Heinrich. Semua bermula tahun 2011 saat Heinrich mengikuti pelatihan pembuatan biogas dari kotoran ternak babi –sebuah program energi baru terbarukan Sumba Iconic Island (SII). Berkat partisipasi aktif warga macam Heinrich, program inipun berkembang pesat.
Heinrich pun berhasil menjual pupuk organik cair “Bio Slurry” seharga 25 ribu per jerigennya. “Pembeli pupuk cair datang dari sekitar Waingapu sini,“ ujar Heinrich. Dari pengalaman itu, Heinrich menggagas program pertanian organik yang melibatkan perempuan setempat. Awalnya cuma 9 ibu-ibu. Kini telah berkembang menjadi 40 petani perempuan. Mereka bekerja secara swadaya: menyediakan bibit sayur, menyambung pipa dan membuat bak penampung air. Mereka juga menentukan sendiri harga jual sayur yang dipasarkan langsung melalui internet dan siaran Radio Max FM.
“Solusi-solusi sederhana ini telah menggairahkan warga untuk berkebun,” ujar lulusan Universitas Airlangga itu. “Sayur yang dipanen menjadi sumber gizi bagi seluruh keluarga sekaligus mengurangi beban hidup. Perempuan yang tadinya bergantung pada pendapatan suami kini punya penghasilannya sendiri. Lahan kota yang tadinya terbengkalai dipenuhi bawang, pokcay, kol, cimsi, pitsai, tomat, kangkung, dan sawi.” Kelompok Tani Organik Kalu yang dipimpinnya pun menyiapkan lahan baru seluas 0.5 hektar. Pengairan disalurkan melalui pipa dari sungai Payeti ke setiap kebun warga.
“Bahkan sudah ada warga yang akan menanam padi di sekitar sini –saat musim hujan nanti. Itu pertama kalinya mereka menanam padi di lahan mereka,“ ujar Heinrich berbinar-binar. Tak berhenti disitu, ia terus menyemangati warga agar mau menanam bahkan setelah musim hujan usai. Salah satunya dengan membuat kincir air yang bisa mengangkat air dari sungai 24 jam sehari. “Sekarang anak-anak masih harus mengangkat air sendiri. Kalau selesai nanti, kami punya kincir air produksi lokal –sebuah pemandangan yang tak mungkin kita lihat 4 tahun lalu,“ imbuhnya. (FI/YS)
Artikel lainnya:
→ Sejahtera Berkat Energi Bersih
→ Menerangi Sumba Memberdayakan Wanita
→ Mengubur Parang Memanen Terang
→ Membelah Bukit Menatap Cahaya
→ Pembawa Perubahan, Pencipta Kebersamaan
→ Semangat Warga Petani Pokcay
→ Krisis Energi Berbuah Inovasi
→ Menyalakan Cahaya, Menyelamatkan Nyawa
→ Peluang Bersama Pulau Sumba
→ 100% Terbarukan