Operator - Yuni 2

Sumba, belum pernah menjadi prioritas bagi pemerintah Indonesia karena lokasinya yang terpencil. Sampai dengan beberapa tahun yang lalu, hampir seluruh pedesaan di Sumba tidak memiliki akses terhadap listrik, yang artinya saat malam tiba, seluruh aktivitas pada malam hari akan terhenti. Begitu Pulau Sumba mulai berkembang, hal ini menimbulkan hambatan besar, sehingga para pejabat harus memperhatikan kebutuhan energi masyarakat setempat

Sekolah Dasar Manggewar

Terletak di Kabupaten Sumba Tengah, Desa Sambali Loku merupakan lokasi SD Manggewar yang juga merupakan salah satu dari 25 sekolah dengan panel surya Proyek TERANG (Investing in Renewable Energy for Rural, Remote Communities/Investasi untuk Energi Terbarukan bagi Masyarakat Wilayah Pedesaan dan Terpencil) – yang merupakan proyek kemitraan antara Konsorsium Hivos bersama Yayasan Rumah Energi (YRE) dan Village Infrastructure Angel (VIA) dan Millennium Challenge Account – Indonesia (MCA-I). Proyek ini diluncurkan pada tahun 2015, yang bertujuan untuk mencapai elektrifikasi secara keluruhan di daerah pedesaan terpencil seperti Sumba, dengan rasio elektrifikasi yang tertinggal jauh di belakang dibandingkan dengan rata-rata nasional.

Di desa ini, setidaknya 50 orang termasuk kepala sekolah dan guru telah dilatih untuk mengoperasikan instalasi panel surya sekolah. Setelah pelatihan, seorang operator ditunjuk untuk bertugas menjaga instalasi.

Satu-satunya operator perempuan Sumba

yuni

Ibu Yuni, seorang guru di SD Menggewar yang berusia 31 tahun, juga bekerja sebagai operator panel surya. Ia adalah satu-satunya operator perempuan di Sumba.

Ia mengajar agama Kristen dan hal ini membuatnya merasa ragu saat ditunjuk sebagai operator panel surya sekolah.

“Saya tidak memiliki latar belakang di bidang teknik, tetapi mereka mempercayai saya untuk mengurus instalasi panel surya di sini,” kata Ibu Yuni. “Meskipun mereka percaya pada saya, saya masih merasa khawatir karena tidak tahu bagaimana memperbaiki jika ada kerusakan atau masalah pada instalasi.”

Orang-orang di desa ini berpikir bahwa kaum perempuan hanya bisa menggunakan pelita yang berbahan bakar minyak tanah, dan hanya para laki-laki saja yang bisa menggunakan alat penerangan yang lebih modern. Ibu Yuni telah mendobrak stereotipe ini – namun ia tetap berhati-hati dengan apa yang dipikirkan oleh orang-orang tentangnya karena hal ini merupakan tantangan tersendiri sebagai seorang operator perempuan.

“Pelanggan banyak yang mengambil kembali lentera surya mereka setelah pukul 8 malam, yang artinya saya harus pulang terlambat ke rumah. Saya tidak takut berada di luar saat gelap karena jarak sekolah hanya sekitar 200 meter dari rumah saya, tetapi orang-orang di desa ini seringkali berpikir bahwa perempuan yang keluar rumah pada malam hari adalah perempuan tidak benar, dan saya tidak mau dianggap orang seperti itu.”

Terlepas dari gaji yang diterimanya sebesar Rp. 33.000,- setiap bulan, Ibu Yuni bertekad terus mendedikasikan hidupnya untuk mengajar dan membuat perubahan positif dalam kehidupan orang lain – terutama anak-anak di Sumba.

“Saya senang selama murid memiliki lampu untuk belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumahnya,” ujar Ibu Yuni. “Guru-guru mulai mempersiapkan bahan pengajaran dengan menggunakan komputer, dan bahan ujian pun sekarang diketik serta dicetak. Saya juga melihat adanya peningkatan nilai dari para murid,” tambahnya. “Banyak sekali hal baik yang telah terjadi di SD Manggewar semenjak kami memiliki listrik, dan hal ini membuat saya puas.”

Ibu Yuni tadinya khawatir dengan kemampuannya untuk mengoperasikan panel surya, namun sekarang ia berharap bisa mendapatkan pelatihan teknis lainnya agar dapat memperluas pengetahuan dan meningkatkan rasa percaya dirinya. “Saya ingin bisa memperbaiki instalasi sendiri, apa pun masalahnya.”