Keadaan Perempuan di Sumba
Sekitar satu jam dari Bandara Tambolaka ke arah timur, anda dapat menemukan Kios Energi Terbarukan, Yofi Mayu Delo. Tampak sedang duduk di depan kiosnya, Mama Margaretha, ibu berusia 44 tahun yang memiliki empat anak ini, mengerutkan dahi saat ia mengingat perjalanan hidupnya. “Orang tua saya, terutama ayah, tidak merestui saya saat menikah. Karena suami saya hanyalah seorang tukang batu, saya berpikir ayah saya merasa bahwa hidup saya akan menderita jika bersamanya,” katanya.
Dan nyatanya, Mama Margaretha memang mengalami sekian tantangan di awal pernikahannya. Mama Margaretha berasal dari Pulau Sumba, dimana nasib perempuan sebagian besar ditentukan sebatas pernikahan, reproduksi dan pekerjaan rumah tangga. Perempuan Sumba tidak ditemukan dalam kepemimpinan politik dan memiliki sedikit atau bahkan sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Apabila mereka menyatakan pemikiran mereka di depan laki-laki maupun masyarakat lebih luas maka akan dianggap tidak sopan dan melanggar norma. Di samping itu dikarenakan budaya patrilineal di Sumba yang sangat kental, Mama Margaretha tidak dapat membantu suaminya untuk mendapatkan penghasilan.
Selain itu, Mama Margaretha juga menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya memiliki kebiasaan minum alkohol yang parah dan seringkali memukuli Mama Margaretha sampai wajah dan badannya memar. Ia takut untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib dan tidak ingin menceritakan kejadian ini kepada keluarga karena selama ini pihak keluarga tidak pernah menyetujui pernikahannya. “Saya hanya menyimpan hal ini di dalam hati saya selama 11 tahun. Setiap kali saya dipukuli, saya hanya berdoa kepada Tuhan bahwa mungkin suatu hari suami saya akan berubah.”
Kios Energi Terbarukan membawa masa depan yang lebih cerah
Seketika setelah 11 tahun dalam penderitaan, doa Mama Margaretha terjawab. Suaminya mengalami kecelakaan saat mabuk dan memutuskan untuk berhenti minum alkohol. Lambat laun, perilaku agresif dan kekerasan sang suami lenyap dalam kehidupan sehari-hari mereka.
“Saya pikir kecelakaan ini adalah berkat yang terselubung,” kata Mama Margaretha. “Ketika kehidupan rumah tangga saya membaik, saya memutuskan untuk membangun kios kelontong kecil-kecilan pada tahun 2006 untuk mendapatkan penghasilan tambahan keluarga.”
Sepuluh tahun kemudian, Hivos memilih kios Mama Margaretha sebagai salah satu Kios Energi Terbarukan TERANG. Selain menjual kebutuhan sehari-hari, kios ini juga digunakan sebagai tempat untuk mengisi ulang lentera surya dan menjadi tempat berkumpul untuk orang-orang yang menghabiskan waktu bersama tetangga dan menonton televisi bersama. Kios ini juga buka sampai larut malam, yang akhirnya meningkatkan jumlah pelanggan. Mama Margaretha memutuskan untuk tidak menaikkan harga-harga barang seperti kios lainnya dan bahkan ia dapat menghasilkan Rp. 24.000.000,- setiap bulannya pada saat itu.
“Saya mendaftar untuk kredit usaha kecil dari Bank Rakyat Indonesia sebesar Rp. 25.000.000,- yang harus saya bayar selama dua tahun. Untunglah karena kios ini semakin ramai, pendapatan saya jadi bertambah dan saya dapat membayarnya dalam waktu satu tahun saja.”
Kesabaran dan kegigihan Mama Margaretha memberikan pelajaran yang bernilai kepada kita. Ketika perempuan memiliki akses terhadap sumber daya dan partisipasi yang besar dalam masyarakat, mereka dapat meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar, terutama di daerah pedesaan. Saat ini Mama Margaretha lebih percaya diri dan memegang peranan penting dalam keluarganya. Sembari memperluas bisnisnya, Mama Margaretha berpikir tentang bagaimana membawa ‘cahaya’ yang lebih terang ke desanya.
“Orang-orang di sini adalah penggemar berat lampu tenaga surya,” katanya, ia mengakui produk bertenaga surya ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. “Saya ingin terus membantu dan memberdayakan orang-orang di desa saya dengan cara apa pun yang saya bisa.”
Keadaan Perempuan di Sumba
Sekitar satu jam dari Bandara Tambolaka ke arah timur, anda dapat menemukan Kios Energi Terbarukan, Yofi Mayu Delo. Tampak sedang duduk di depan kiosnya, Mama Margaretha, ibu berusia 44 tahun yang memiliki empat anak ini, mengerutkan dahi saat ia mengingat perjalanan hidupnya. “Orang tua saya, terutama ayah, tidak merestui saya saat menikah. Karena suami saya hanyalah seorang tukang batu, saya berpikir ayah saya merasa bahwa hidup saya akan menderita jika bersamanya,” katanya.
Dan nyatanya, Mama Margaretha memang mengalami sekian tantangan di awal pernikahannya. Mama Margaretha berasal dari Pulau Sumba, dimana nasib perempuan sebagian besar ditentukan sebatas pernikahan, reproduksi dan pekerjaan rumah tangga. Perempuan Sumba tidak ditemukan dalam kepemimpinan politik dan memiliki sedikit atau bahkan sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Apabila mereka menyatakan pemikiran mereka di depan laki-laki maupun masyarakat lebih luas maka akan dianggap tidak sopan dan melanggar norma. Di samping itu dikarenakan budaya patrilineal di Sumba yang sangat kental, Mama Margaretha tidak dapat membantu suaminya untuk mendapatkan penghasilan.
Selain itu, Mama Margaretha juga menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya memiliki kebiasaan minum alkohol yang parah dan seringkali memukuli Mama Margaretha sampai wajah dan badannya memar. Ia takut untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib dan tidak ingin menceritakan kejadian ini kepada keluarga karena selama ini pihak keluarga tidak pernah menyetujui pernikahannya. “Saya hanya menyimpan hal ini di dalam hati saya selama 11 tahun. Setiap kali saya dipukuli, saya hanya berdoa kepada Tuhan bahwa mungkin suatu hari suami saya akan berubah.”
Kios Energi Terbarukan membawa masa depan yang lebih cerah
Seketika setelah 11 tahun dalam penderitaan, doa Mama Margaretha terjawab. Suaminya mengalami kecelakaan saat mabuk dan memutuskan untuk berhenti minum alkohol. Lambat laun, perilaku agresif dan kekerasan sang suami lenyap dalam kehidupan sehari-hari mereka.
“Saya pikir kecelakaan ini adalah berkat yang terselubung,” kata Mama Margaretha. “Ketika kehidupan rumah tangga saya membaik, saya memutuskan untuk membangun kios kelontong kecil-kecilan pada tahun 2006 untuk mendapatkan penghasilan tambahan keluarga.”
Sepuluh tahun kemudian, Hivos memilih kios Mama Margaretha sebagai salah satu Kios Energi Terbarukan TERANG. Selain menjual kebutuhan sehari-hari, kios ini juga digunakan sebagai tempat untuk mengisi ulang lentera surya dan menjadi tempat berkumpul untuk orang-orang yang menghabiskan waktu bersama tetangga dan menonton televisi bersama. Kios ini juga buka sampai larut malam, yang akhirnya meningkatkan jumlah pelanggan. Mama Margaretha memutuskan untuk tidak menaikkan harga-harga barang seperti kios lainnya dan bahkan ia dapat menghasilkan Rp. 24.000.000,- setiap bulannya pada saat itu.
“Saya mendaftar untuk kredit usaha kecil dari Bank Rakyat Indonesia sebesar Rp. 25.000.000,- yang harus saya bayar selama dua tahun. Untunglah karena kios ini semakin ramai, pendapatan saya jadi bertambah dan saya dapat membayarnya dalam waktu satu tahun saja.”
Kesabaran dan kegigihan Mama Margaretha memberikan pelajaran yang bernilai kepada kita. Ketika perempuan memiliki akses terhadap sumber daya dan partisipasi yang besar dalam masyarakat, mereka dapat meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar, terutama di daerah pedesaan. Saat ini Mama Margaretha lebih percaya diri dan memegang peranan penting dalam keluarganya. Sembari memperluas bisnisnya, Mama Margaretha berpikir tentang bagaimana membawa ‘cahaya’ yang lebih terang ke desanya.
“Orang-orang di sini adalah penggemar berat lampu tenaga surya,” katanya, ia mengakui produk bertenaga surya ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. “Saya ingin terus membantu dan memberdayakan orang-orang di desa saya dengan cara apa pun yang saya bisa.”