Menyalakan Cahaya, Menyelamatkan Nyawa
Berkat SSI, desa, sekolah, gereja dan kantor pemerintah mulai menggunakan energi baru terbarukan. Namun, rumah sakit dan Puskesmas masih bertumpu pada gen-set berbahan solar nan langka –mengancam pelayanan kesehatan ratusan ribu warga. Padahal potensi sumber daya angin, surya, air, dan biomasa Sumba masih 37 MW. Sebuah peluang bagi mitra-investor yang mencari model pengembangan untuk Indonesia.
Dokter bedah gesit memegang pisau di ruang operasi saat aliran listrik tiba-tiba mati. Tak soal; rumah sakit berusia 111 tahun itu sudah terbiasa menghadapi pemadaman bergilir tiap hari. Cukup beralih ke generator-set, semua bisa kembali bekerja. Tapi situasi segera kembali genting. Staf rumah sakit melaporkan: bahan bakar menipis. Tim medis pun berpacu dengan waktu demi menyelamatkan nyawa pasien –padahal lama operasi bisa sampai 8 jam. “Konyol bila pasien meninggal dunia gara-gara tak ada listrik,“ ungkap dr. Alhairani Mesa. “Yang disalahkan tetap rumah sakitnya.”
Di penghujung 2014, Direktur RSK Lindimara di Waingapu itu bukan cuma dipusingkan oleh masalah kesehatan. Berkurangnya pasokan dari Pertamina ke Sumba berakibat kelangkaan bahan bakar. Antrean panjang mengular di SPBU dan agen-agen resmi. 52,755 jiwa di ibu kota Sumba Timur terancam tak mendapat pelayanan kesehatan. Kepepet, rumah sakit tertua di pulau Sumba itu menghimbau warga menjual stoknya –via laman Facebook. “Sorenya terkumpul 80 liter yang kami beli dengan Rp. 8,000-10,000/L,“ kenangnya. Harga itu dua kali lipat di atas harga yang dipatok pemerintah.
Toh, Waingapu terhitung beruntung. Di pelosok, desa gelap gulita tanpa listrik. Di Kamanggih, bidan Ina Panjanji dulu membantu kelahiran cuma diterangi pelita. “Kadang belum lagi tiba di tempat, sudah terdengar tangis keluarga yang kehilangan ibu atau bayinya,” tuturnya. Tak heran, angka kematian ibu melahirkan di Sumba tergolong tinggi di ASEAN, 305/100,000 menurut UNFPA/Susenas. Yang hidup, nasibnya tak lebih baik. “Bangun pagi, hidung kami hitam-hitam karena asap kerosene,” kenang Markus Muama, guru di SD Praimarada, Lewa. Infeksi pernapasan akut pun menjadi salah satu penyakit utama warga Sumba.
Pelan tapi pasti inisiatif energi baru terbarukan SII menciptakan perubahan pada kondisi itu. Tahun 2011-2014 rasio ketersambungan listrik di Sumba mendekati 40% –naik dari yang sebelumnya cuma 25%. Yang juga penting, hampir 10% di antaranya berasal dari energi bersih, a.l., 15 ribu pembangkit listrik tenaga surya, 1,173 instalasi biogas, 100 unit pembangkit listrik tenaga angin, serta 12 pembangkit listrik mikro-hidro yang kini terpasang. Dampaknya terang-benderang. Sejak adanya pasokan mikro-hidro yang mereka upayakan bersama HIVOS dan IBEKA, tingkat kematian ibu dan anak di Kamanggih pun turun.
Sayangnya, generator berbahan bakar solar masih menjadi andalan nyaris semua fasilitas kesehatan di Sumba –padahal sebagian sekolah, gereja, dan desa sudah menggunakan panel surya. dr. Alhairani pun bertanya-tanya. “Kami butuh 80,000 watt untuk rumah sakit. Yang terpikir: bagaimana kalau solar habis? Apakah kami bisa mengolah energi dari kotoran manusia atau mendaur-ulang sampah seperti botol infus?” Sebuah tantangan sekaligus peluang bagi para mitra dan investor baru untuk bergabung dengan SII dan mengembangkan energi baru terbarukan Sumba yang memiliki potensi hingga 37 MW. (YS/FI)
Artikel lainnya:
→ Sejahtera Berkat Energi Bersih
→ Menerangi Sumba Memberdayakan Wanita
→ Mengubur Parang Memanen Terang
→ Membelah Bukit Menatap Cahaya
→ Pembawa Perubahan, Pencipta Kebersamaan
→ Semangat Warga Petani Pokcay
→ Krisis Energi Berbuah Inovasi
→ Menyalakan Cahaya, Menyelamatkan Nyawa
→ Peluang Bersama Pulau Sumba
→ 100% Terbarukan