PLTA, Sumba, Indonesia (Foto: Josh Estey/Hivos)
Oleh Eco Master
Eco Matser, Koordinator Global Perubahan Iklim/Energi dan Pembangunan Hivos
ipsnews.net – Ketika sektor energi bertransformasi, ada konsensus yang berkembang bahwa energi berkelanjutan adalah katalis untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs): ini sangat penting untuk kesehatan yang lebih baik, pendidikan, lapangan pekerjaan, produksi pangan dan konservasi, serta pemanfaatan dan kualitas air.
Transformasi ini melibatkan solusi terdesentralisasi yang mengubah cara orang berinteraksi satu sama lain dan dengan para penyedia energi. Ini mempengaruhi peran masyarakat tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga sebagai ‘prosumer‘ atau wirausahawan energi.
Saat ini, 1 miliar orang masih hidup tanpa akses listrik dan 3 miliar orang tidak memiliki akses ke bahan bakar bersih untuk memasak.
Akses ke Energi
Akses ke energi bukan hanya sampai pada hal itu saja. Ini juga merupakan batu loncatan untuk mengatasi dua tantangan utama yang dihadapi dunia, yaitu:
- mitigasi perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam
- memastikan bahwa semua orang di mana pun dapat mengambil alih kehidupan mereka sendiri di lingkungan yang inklusif dan terbuka
Di mana energi berperan dalam hal-hal di atas?
Secara tradisional, memiliki akses ke energi sering berarti Anda harus tinggal di dekat jaringan listrik atau mengandalkan bahan bakar solar dan minyak tanah atau kayu bakar. Tetapi urgensi memerangi perubahan iklim, dikombinasikan dengan kemajuan teknologi dan pengurangan biaya penggunaan teknologi yang signifikan, telah meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan energi terbarukan dengan cepat. Selain itu, perpindahan dari distribusi tenaga terpusat ke sistem off-grid dan mini-grid terdesentralisasi yang didukung oleh energi terbarukan semakin kuat. Ini akan membuat lebih banyak energi tersedia bagi masyarakat yang kurang beruntung dan yang berada di daerah terpencil.
Untuk melangkah lebih maju, kebijakan harus menjadi lebih suportif sementara aspek keuangan untuk energi perlu diubah secara mendasar. Saat ini, masalah utamanya bukan kurangnya pembiayaan, tetapi bagaimana arus keuangan – terutama untuk sistem on-grid di negara-negara berpenghasilan tinggi – sementara kebutuhan terbesar adalah membangun sistem off-grid di daerah berpenghasilan rendah.
Sumba: sebuah contoh terobosan transisi energi
Pulau Sumba adalah contoh terdepan dari sebuah transisi energi yang ambisius dan inovatif. Hivos memperkenalkan inisiatif Pulau Ikonik Sumba pada tahun 2009, dan sejak itu menjadi bukti nyata bahwa sistem energi berkelanjutan yang terdesentralisasi secara positif mempengaruhi pertumbuhan yang ramah lingkungan dan inklusif. Inisiatif ini berhasil berkat pendekatan multi pemangku kepentingan dengan pemerintah (lokal dan nasional), sektor swasta, dan organisasi berbasis komunitas yang saling bekerja sama dengan erat. Melalui solusi on-grid dan off-grid yang terdesentralisasi, proyek ini telah menyediakan akses energi bagi lebih banyak orang daripada sebelumnya. Selain itu, Sumba menjadi contoh inspiratif bagi masyarakat setempat dan bagi pemerintah Indonesia atas peluang membawa energi terbarukan.
Tidak ada yang tertinggal
Transisi ke sistem energi terdesentralisasi akan menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan untuk mencapai SDG nomor 7 sebelum tahun 2030. Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang berkelanjutan dan tangguh, kita harus fokus pada jutaan dari mereka yang bahkan masih kekurangan layanan energi dasar, juga menaruh perhatian pada ketidaksetaraan yang saat ini terjadi dalam sistem energi global. Secara khusus, kita harus memberdayakan perempuan dan orang muda untuk menjadi pengusaha dalam transisi energi yang ramah lingkungan.
Bekerja bersama mitra lokal di lapangan, kami dapat memastikan bahwa sistem energi masa depan dikembangkan dengan mempertimbangkan pengguna akhir. Artinya harus tercipta lingkungan yang lebih memungkinkan untuk kewirausahaan energi dan menyalurkan keuangan publik dan swasta ke dalam solusi terdesentralisasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat di daerah terpencil. Di negara-negara seperti Kenya dan Nepal, pemerintah mereka telah berhasil menerapkan model keuangan bayar-sesuai-yang-anda-pakai dengan skema pembayaran yang dipersonalisasi. Namun praktik terbaik ini perlu terwujud lebih cepat dan dalam skala yang jauh lebih besar jika kita serius untuk tidak membuat siapa pun tertinggal.
Kemitraan multi-pemangku kepentingan
Komponen lain yang menentukan akses energi universal adalah kehadiran inisiatif para pemangku kepentingan. Tanpa kemitraan, proses transisi akan susah bergerak cepat. Inilah sebabnya mengapa Hivos memimpin pembentukan Koalisi Brooklyn pada tahun 2017 untuk mempercepat penyerapan energi terbarukan yang terdesentralisasi. Menyatukan pemerintah Belanda, Nepal, dan Kenya, aktor sektor swasta Schneider Electric dan Selco, serta organisasi masyarakat sipil, Hivos, ENERGIA, dan SNV, koalisi ini bekerja untuk mempromosikan masyarakat yang ramah lingkungan di mana warga negara menjadi kekuatan pendorong solusi baru untuk kebutuhan energi mereka. Di sini, ada peran besar yang diperankan organisasi yang mewakili masyarakat sipil pada tinjauan SDG nomor 7 di Forum Politik Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hal yang sama pentingnya adalah keterkaitan dengan SDGs lainnya. Akses energi juga penting untuk produksi yang berkelanjutan, sumber daya air yang tangguh dan kota-kota yang inklusif. Menyediakan energi untuk rumah tangga, komunitas, dan lapangan kerja dapat menjadi basis untuk membentuk masyarakat berkembang.
Dengan adanya berbagai kemajuan besar di banyak negara di seluruh dunia, ada alasan yang cukup untuk bersikap optimis. Saat ini kita harus menekankan kebutuhan berkelanjutan untuk memungkinkan kebijakan dan investasi dalam solusi energi terbarukan yang terdesentralisasi untuk melengkapi sistem grid dan membawa semua orang menuju transisi energi yang ramah lingkungan.
(Sumber: http://www.ipsnews.net/2018/08/why-we-need-decentralized-renewable-energy-to-power-the-world/)