Menerangi Sumba, Memberdayakan Wanita

SII tak sekadar bercita-cita mewujudkan energi baru terbarukan. Inisiatif ini juga mendorong perekonomian masyarakat, khususnya bagi pihak yang paling menderita dengan tiadanya akses listrik: perempuan. Di Kamanggih, Kodi, Lewa dan Waingapu tingkat kematian ibu melahirkan turun, anak-anak belajar di malam hari, dan komunitas mulai menjalankan usahanya sendiri –sebuah contoh bagi seluruh Indonesia.

Ingatan Bidan Ina Panjanji kembali pada 1977 silam. Saat memulai karirnya di desa Kamanggih sebagian besar Sumba Timur belum lagi teraliri listrik. Membantu kelahiran bayi pun cuma diterangi lampu senter atau pelita. “Orang yang menjemput harus berkendera kuda naik turun bukit sambil membawa obor,” kenang wanita yang sejak 2007 telah membantu 200 lebih kelahiran itu. “Kadang belum lagi sampai di tempat, kami sudah mendengar isak tangis duka dari dalam rumah.”

Hidup bagi yang selamat tak lebih cerah. Buat pencahayaan, warga memanfaatkan pelita atau biji Damar. “Kami pecah dan keringkan lalu bakar hingga menyala,” tutur Markus Karepi Muama, guru di SD Praimarada, kecamatan Lewa. Setengah abad berlalu tak banyak membawa perubahan. Tingkat ketersambungan listrik di Sumba tak sampai 25% –salah satu yang terendah di Indonesia. Menurut Direktur RSK Lindimara, dr. Alhairani Mesa, di Waingapu, pengunaan minyak tanah untuk pelita banyak mengakibatkan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut).

Alhasil, Sumba Iconic Island yang digagas tahun 2010 bukan cuma menciptakan akses listrik bagi 650,000 penduduk pulau Sumba. Proyek energi terbarukan ini juga mengurangi ketergantungannya pada pembangkit listrik berbahan bakar mahal dan tak ramah lingkungan, seperti diesel dan kerosene. “Sumba memiliki banyak underground river, energi matahari, angin, dan biogas dari kotoran ternak –cukup buat kebutuhan energinya yang hingga tahun 2020 tak sampai 13 MW,“ ujar Danny Suhandi, Kepala Dinas ESDM & Pertambangan NTT di Kupang. Bila berhasil, Sumba bakal menjadi model bagi pulau-pulau lain.

Pelan tapi pasti, SII membawa perubahan positif khususnya bagi perempuan dan anak-anak –kalangan yang selama ini paling menderita. Berkat listrik yang mengalir 24 jam sehari dari pembangkit mikro hidro Bakuhau, sejak 2012 warga Kamanggih tinggal menggunakan telpon selularnya untuk mencari pertolongan. “Ibu tinggal menghidupkan lampu di malam hari buat memberi ASI,” jelas Bidan Ina. Angka kematian ibu dan anak pun menurun drastis sementara siswa lebih berprestasi karena bisa belajar malam hari. Yang tak kalah penting, perempuan belajar mandiri.

Heinrich Dengi, contohnya, memandu ibu-ibu mengolah kotoran ternak menjadi pupuk biogas kebun sayur di lahan perkotaan. “Untuk pertama kalinya mereka pegang uang sendiri,” ujar pemilik radio MaxFM Waingapu itu. Di Kondamara, kecamatan Lewa, Pendeta Lidya Awang tak lagi risau. Pompa Air Tenaga Surya SII yang dikelola bersama warga desa menyulap lahan kering almarhum suaminya menjadi kebun subur. “Dulu makan sayur susah sekali. Sekarang tercukupi,” tuturnya, sumringah. Dengan penghasilan ekstra Rp. 2,2 juta setiap 3 bulan panen, ketua kelompok tani Karya Kasih itu bahkan bisa membiayai sekolah anaknya. (FI/YS)

Artikel lainnya:

→ Sejahtera Berkat Energi Bersih
→ Menerangi Sumba Memberdayakan Wanita

→ Mengubur Parang Memanen Terang
→ Membelah Bukit Menatap Cahaya
→ Pembawa Perubahan, Pencipta Kebersamaan
→ Semangat Warga Petani Pokcay
→ Krisis Energi Berbuah Inovasi
→ Menyalakan Cahaya, Menyelamatkan Nyawa
→ Peluang Bersama Pulau Sumba
→ 100% Terbarukan