Membelah Bukit Menatap Cahaya

Geram dengan kegelapan dan kemiskinan yang mereka alami puluhan tahun, warga desa Kamanggih bergotong-royong membelah bukit. Laki dan perempuan, pemuka desa maupun hamba sahaja, bekerja beralatkan linggis, pacul, sekop, dan pakuel membentuk air terjun untuk pembangkit mikro-hidro. Listrik 250 kWh pun mengalir 24 jam/hari –cukup buat 350 rumah, Puskesmas, Polsek, bahkan untuk dijual ke PLN.

Hingga 10 tahun silam desa Kamanggih masih hidup dalam zaman kegelapan. Raja dan kaumnya berkuasa; Hamba dan Budak membanting-tulang di ladang. Tradisi melarang mereka berdagang. Musim panen, jagung, ubi, ketela, dan padi ladang cuma dibagikan buat makan. Babi atau kuda dipelihara bukan buat dijual, tapi dikorban pada upacara pernikahan atau kematian. Nyaris tak ada yang mengecap pendidikan. Raja bakal mencambuk Hamba yang anaknya mencoba kabur bersekolah. Lagipula, apa guna: tiba malam desa gelap gulita.

Harapan bermula tahun 1999 ketika JAICA Jepang dan Yayasan IBEKA dari Bandung membangun pompa air bertenaga surya di desa yang terletak di Kecamatan Kahaungu Eti itu. ‘Mereka mengajak masyarakat mencari potensi air terjun untuk pembangkit listrik. Kami menelusuri 4 sungai di desa hingga akhirnya menemui Bakuhau yang memiliki “head” air terjun 7 m,’ tutur Umbu Hingu Panjanji, Ketua Koperasi Desa. Air mengalir dari sungai Hupuheing, melingkari sebuah bukit. ‘IBEKA mengusulkan kami membelah bukit untuk mendapatkan “head” yang lebih curam sementara mereka mencari donatur.’

Kehadiran PLTD tahun 2005 sempat membawa secercah cahaya –paling tidak saat listrik mengalir ke desa, antara jam 6 sore hingga 6 pagi esoknya. Dengan daya 25 KW, itu cukup buat menyalakan rice cooker, pompa air, dan lampu pijar di rumah. “Warga sudah senang melihat desanya terang,” Umbu Panjanji, mengenang. Persoalannya pembangkit PLN itu berbahan bakar solar. Bahkan di Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur yang cuma berjarak 2 jam perjalanan mobil, solar diimpor dengan banderol Rp. 10,000/L –hampir dua kali lipat harga resminya. Pemadaman listrik menjadi hal biasa.

Butuh 6 tahun hingga perubahan sebenarnya terjadi. ‘Dengan dukungan HIVOS, akhirnya masyarakat “memotong” bukit pada Januari 2011. Semua turun tangan: laki-perempuan, tokoh dan kepala desa,’ lanjutnya. ‘Tiap hari 20 orang bergiliran berjalan kaki 4 Km dari desa, membelah bukit dengan panjang 20 m dan ketinggian 11 m dari jam 8 pagi hingga 4 sore. Tinggi air terjun ditingkatkan menjadi 27 m cuma beralatkan linggis, pacul, sekop, dan pakuel. Semen, beton, dan turbin pun diangkut oleh manusia karena lokasi terjal tak memungkinkan kendaraan masuk.’

“Kerja ramai-ramai, semua di bawa senang. Yayasan Ibeka bawa beras, kami berbagi lauk-pauk ayam dan kambing,” kenang keturunan Raja itu. Upaya Dinas Kehutanan melarang pembelahan bukit pun dihadapi bersama. November 2011, pembangkit mikro hidro Bakuhau mengalirkan listrik 250 kWh 24 jam/hari, cukup daya buat 350 rumah, Puskesmas, Polsek, bahkan untuk dijual melalui Koperasi desa ke PLN dengan harga Rp. 475/Kwh. Sejak itu warga memiliki listrik dan dana simpan-pinjam buat usaha kue, tenun, dan perabot kayu, mengangkat desa berpenduduk 1,320 jiwa itu keluar dari kegelapan. (YS)

Artikel lainnya:

→ Sejahtera Berkat Energi Bersih
→ Menerangi Sumba Memberdayakan Wanita

→ Mengubur Parang Memanen Terang
→ Membelah Bukit Menatap Cahaya
→ Pembawa Perubahan, Pencipta Kebersamaan
→ Semangat Warga Petani Pokcay
→ Krisis Energi Berbuah Inovasi
→ Menyalakan Cahaya, Menyelamatkan Nyawa
→ Peluang Bersama Pulau Sumba
→ 100% Terbarukan